×
Create a new article
Write your page title here:
We currently have 2,527 articles on Polcompball Wiki. Type your article name above or click on one of the titles below and start writing!



Polcompball Wiki

Neo-Nasakomism-ID: Difference between revisions

No edit summary
No edit summary
Line 220: Line 220:
Tidak harus terbuka dan sistematis, bahkan bisa bersifat mental ketika kita menekan keinginan dan dorongan untuk “menjadi” individu tertentu di mata semua orang. Saat ini kita hidup dalam "Masyarakat Terbuka" di mana orang-orang "bebas" untuk menjadi sesuka mereka, namun kenyataannya, itu tidak lebih dari "kebebasan" untuk menjadi pelacur.
Tidak harus terbuka dan sistematis, bahkan bisa bersifat mental ketika kita menekan keinginan dan dorongan untuk “menjadi” individu tertentu di mata semua orang. Saat ini kita hidup dalam "Masyarakat Terbuka" di mana orang-orang "bebas" untuk menjadi sesuka mereka, namun kenyataannya, itu tidak lebih dari "kebebasan" untuk menjadi pelacur.


Kita adalah pelacur dunia, dunia kapital, dunia konsensus, demokrasi pasar bebas adalah demokrasi tirani terhadap individu, memaksa kita untuk menjadi individu tertentu padahal kita sendiri mempunyai kemauan sendiri. . Perbudakan hal-hal yang memiliki kemauan adalah alasan mengapa kita merasakan kebencian, kebencian terhadap bagian-bagian masyarakat yang mendikte kita, para elit, “kolektif” ilusif yang mungkin tidak peduli dengan apa yang Anda pikirkan atau lakukan, itulah alasan mengapa hal-hal ini terjadi. Orang egois mempunyai kemarahan kecil terhadap masyarakat.
Kita adalah pelacur dunia, dunia kapital, dunia fetisisme komoditas, demokrasi pasar bebas adalah demokrasi tirani terhadap individu untuk dijadikan papan reklame berjalan, hal ini memaksa kita untuk menjadi individu tertentu bagi dunia. publik memandang kita dengan cara tertentu padahal kita punya kemauan sendiri, ekspresinya hanya sekedar mencari perhatian yang “tidak autentik” dan “dipaksakan”. Perbudakan hal-hal yang memiliki kemauan adalah alasan mengapa kita merasakan kebencian, kebencian terhadap bagian-bagian masyarakat yang mendikte kita, para elit, “kolektif” ilusif yang mungkin tidak peduli dengan apa yang Anda pikirkan atau lakukan, itulah alasan mengapa hal-hal ini terjadi. Orang egois mempunyai kemarahan kecil terhadap masyarakat.


Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa pemikiran seperti ini hanya ada di Barat dan khususnya di perkotaan? Mengapa “Progresivisme” ini hanya ada di pusat-pusat kehidupan yang paling memiliki hak istimewa? “Progresivisme” tidak lain hanyalah sebuah “Perobekan Besar” dalam struktur kosmis Bangsa dan Tradisionalisme. Ini adalah perwujudan Atomisasi dan Individualisme. Bahkan dalam gerakan Komunis yang penuh dengan ide-ide Internasionalisme, kami menganggap hal itu berarti meninggalkan komunitas kami. Yang tersisa hanyalah negasi dasein (berada di sana) menjadi das man (“mereka”), seorang das man yang bahkan tidak tahu apa itu dirinya sendiri, setidaknya Fasisme tahu apa itu.
Ketika kita terisolasi, kita mencoba mencari cara untuk melepaskan hasrat yang tertekan ini karena tidak ada tempat untuk pergi, kita harus terus menekannya atau melepaskannya dalam bentuk pencarian perhatian dan keinginan untuk dikenal, untuk menjadi yang terbaik. yang disebut sebagai "orang hebat" meskipun kita tidak memiliki apa pun yang dapat menjadikan kita "orang hebat". Kami mencoba untuk "menonjol" dari masyarakat dan membentuk "identitas" kami sendiri dan dari sana kami berpakaian sedemikian rupa sehingga menimbulkan perasaan tertentu dari masyarakat. Orang-orang ini ingin menonjol dari norma, menjadi "tidak seperti orang lain" dan dengan demikian mencari ide-ide paling esoterik untuk menjelaskan mengapa mereka bertindak begitu konyol. Ada estetika tertentu yang ingin mereka capai, untuk cosplay sepanjang hari.
 
Tentu saja aku tidak terkecuali, bukan berarti aku juga tidak punya keinginan untuk bercosplay, tapi aku ingin bercosplay agar cocok dengan semesta tertentu, yaitu Indonesiaverse. Ideologi saya di sini adalah saya berusaha untuk melestarikan kekayaan Indonesia agar tidak larut dan hilang, oleh karena itu mengapa saya konservatif, saya ingin Indonesia menjadi "Bangsa" dan Bangsa adalah komunitas orang-orang yang memiliki bahasa, budaya, dan tanah yang sama. Namun Indonesia memang hanya sebuah budaya yang bersatu, bisa dibilang ini tidak lebih dari sebuah multiverse (seperti DC Studios), tapi itupun kita bersatu dalam keberagaman, kita mengupayakan rakyat kita, bukan individualisme, inilah yang dilakukan barat dan barat. terutama kaum internasionalis yang kurang paham: tidak ada yang namanya “Manusia” di planet ini, tidak ada “Komunitas Manusia”, yang ada hanya orang Rusia, Indonesia, Jerman, dan Etiopia, itulah sebabnya kita sangat menentang “kosmopolitanisme yang tak berakar ".
 
Kaum Individualis Egois dalam hal ini adalah orang-orang gila karena tidak cocok dengan alam semesta kita, di era globalisme, kita melihat terkikisnya “keindonesiaan” dan kita semakin menjadi “Barat”, itu akibat dari keterasingan karena Globalisme dan Individualisme mengikis identitas kolektif sehingga tidak ada orang yang bisa diajak bergaul.
 
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa pemikiran seperti ini hanya ada di Barat dan khususnya di perkotaan? Mengapa “Progresivisme” ini hanya ada di pusat-pusat kehidupan yang paling memiliki hak istimewa? “Progresivisme” tidak lain hanyalah sebuah “Perobekan Besar” dalam struktur kosmis Bangsa dan Tradisionalisme. Ini adalah perwujudan Atomisasi dan Individualisme. Bahkan dalam gerakan Komunis yang penuh dengan ide-ide Internasionalisme, kami menganggap hal itu berarti meninggalkan komunitas kami. Yang tersisa hanyalah negasi dari dasein (berada di sana) ke dalam das man (“mereka”), seorang das man yang bahkan tidak tahu apa itu dirinya sendiri, setidaknya Fasisme punya pengertian tentang apa itu atau apa yang ingin dicapainya.


Oleh karena itu, obat untuk orang-orang ini adalah Sosialisme Konservatif, dengan mengasingkan mereka dan menghubungkan mesin keinginan mereka dengan Jaringan Mesin lainnya. Atman dengan Brahman. Sudah waktunya pulang.
Oleh karena itu, obat untuk orang-orang ini adalah Sosialisme Konservatif, dengan mengasingkan mereka dan menghubungkan mesin keinginan mereka dengan Jaringan Mesin lainnya. Atman dengan Brahman. Sudah waktunya pulang.

Revision as of 17:54, 13 June 2024


Self Insert
"People can really believe anything these days!" - Ismism

This page is meant to represent Nurisk5's political views. Please do not make any major edits without their permission.

Work in Progress
"I'll be done any day now!" - Still-Being-Drawnism

This page is not done yet and may still contain inaccurate information or miss important details.



Halaman Nuriskianism bahasa Indo.

Keyakinan

Makna Kehidupan

Makna hidup sebenarnya sederhana: Hidup ngereferensi diri.

Hidup maknanya adalah sendiri, tentang kelanggengannya sendiri, peneguhan hidup, dan penciptaan kehidupan. Antitesis Kehidupan adalah Kematian. Kematian adalah negasi dari kehidupan. Kematian juga berusaha untuk melanggengkan dirinya sendiri.

Agar kehidupan “ada”, kehidupan harus takut kepada sang kematian yang semakin mendekatnya. Hidup membutuhkan energi untuk terus berlari dari kematian, waktu berada di sisi kematian; makanya mengapa agama-agama yang berbicara tentang keselamatan (seperti agama Kristen) berbicara tentang Kehidupan Kekal (tidak dipengaruhi oleh waktu). Ini adalah pernyataan yang paradoks, sementara Waktu tidak terbatas, namun Eksistensi tidak terbatas. Waktu adalah sang Pembunuh yang Abadi, yang menyelesaikan konflik dengan menghancurkan Kehidupan. Kehidupan yang "Kekal" hanya bisa masuk akal melalui pelukan Kematian, pengorbanan diri, asimilasi yang terbatas ke dalam Yang Tak Terbatas. Yang Tak Terbatas mempunyai ruang yang cukup bagi Yang Terbatas, namun Yang Terbatas tidak mempunyai ruang bagi Yang Tak Terbatas.

Tujuan hidup yang pasti adalah mencegah dirinya berasimilasi dengan Yang Tak Terbatas. “Memberi Makna” pada sesuatu pada akhirnya hanyalah mengatakan “hal ini memberi saya kekuatan untuk terus hidup”. Entropi tidak boleh menyerah pada Negentropi. Energi tidak boleh mencapai Keadaan Vakum yang berada pada titik terendah, titik yang berkurangnya konsentrasi Energi. Itu sebabnya saya menyatakan diri saya sebagai seorang "Konservatif", saya berharap masyarakat dan bangsa tidak menyerah pada kematian. Hal seperti ini bergarah terhadap degenerasi dan dekonstruksi fondasi Masyarakat.

Meskipun hal ini bagus bagi kaum Revolusioner yang hanya ingin Menghancurkan, namun tidak semua dari kita menginginkan tujuan akhir revolusi menjadi destruktif, tapi menciptakan sesuatu yang baru. Penegasan Kehidupan Baru dari reruntuhan Kehidupan Lama, yakni Transformasi.

Liberalism bad

Individualisme itu buruk karena ialah bodoh. Kita semua menginginkan ketertiban, jadi mengapa harus dihentikan keinginan itu?

Satu-satunya tempat di mana Individualisme dipandang sebagai hal yang "baik" adalah di Barat di mana satu-satunya nilai yang mereka miliki adalah upaya untuk mencapai Individualitas dan pemisahan dari kolektif.

Alasan mengapa Anda (yang hidup di Barat) menginginkan Individualisme adalah karena Anda telah diberitahu bahwa, itulah nilai budaya Anda, penolakan terhadap kolektivitas demi individu. Anda ingin menjadi "unik" dan memiliki label unik Anda sendiri serta tampil sebisa mungkin berbeda dari orang lain, lalu saya ingin semua orang menjadi normal.

"Normalitas" tidak perlu ditakuti, Normalitas harus dianut karena memperbolehkan kita membangun rasa kebersamaan. Komunitas LGBTQ dibangun berdasarkan konsep "Queer" yang berarti "aneh" atau "ganjil", wajar karena mereka mencoba mengasingkan diri dari orang lain. Keterasingan diri ini adalah bagian dari proyek postmodern-liberal untuk melakukan deteritorialisasi (pelongosran) identitas-identitas yang ada (Nasional, Agama, Budaya, dll.) dan mengganti identitas-identitas tersebut dengan identitas-identitas yang mengasingkan individu dari kolektif.

Postmodernisme adalah Marxisme sebagai Liberalisme, dan saya bukan itu.

Saya bagian dari Teori Politik Keempat, di sini kami menerapkan Marxisme sebagai Konservatisme.

Ketika Kapitalisme mendeteritorialisasikan identitas kolektif. Hal ini menciptakan identitas baru bagi individu untuk diidentifikasi dengan modal yang dapat menganalisis, mengkategorikan, dan menjual kepada individu tersebut untuk terus mengasingkan mereka melalui konsumerisme.

Seperti yang dikatakan Marx:

"Kita tidak dapat mengambil dari mereka apa yang tidak mereka miliki. Karena proletariat pertama-tama harus memperoleh supremasi politik, harus menjadi kelas pemimpin dalam suatu bangsa, harus menjadi bangsa, maka demikianlah adanya. jauh dari itu, perbedaan-perbedaan itu sendiri bersifat nasional, meskipun tidak dalam pengertian borjuis. Perbedaan-perbedaan nasional dan antagonisme di antara bangsa-bangsa semakin hari semakin menghilang, karena berkembangnya kaum borjuis, karena kebebasan berdagang, karena adanya pasar dunia, karena adanya keseragaman dalam perekonomian. cara produksi dan kondisi kehidupan yang berhubungan dengannya."

Karl Marx, Manifesto Partai Komunis, Bab 2[1]


Marxisme dengan demikian harus dipisahkan dari unsur Internasionalisnya dan diganti dengan unsur Konservatif dan Nasionalis. Sosialisme harus menjadi cahaya dan garam Bangsa, menerangi nilai-nilai kuno yang kita tinggalkan dalam kegelapan dan melestarikan Tradisi yang kita miliki.

Ini berarti menghancurkan apa yang menganiaya Anda, menghancurkan Kapitalisme, menghancurkan apa yang mengasingkan Anda dari Brahman Nasional, menghancurkan apa yang mengasingkan Anda dari saudara-saudara Anda, dan membangun sebuah Negara baru dengan Produksi yang Nasionalisasi dan Sosialisasi.

Kami memang cemburu dan ingin membalas dendam. Gerakan Liberal hanya mempercepat Kapitalisme, Sosialisme Internasional menjual negara kita kepada Negara lain dengan bendera merah, dan Fasisme meninggalkan Proletar demi Borjuasi dan mengarahkan negara terhadap despotisme.

Bolshevisme Nasional kita akan berbeda. Kami tidak akan menyerahkan alat-alat produksi kami kepada orang asing dengan warna kulit apa pun, topeng apa pun, dan biarkan nilai-nilai kebangsaan kami dirusak.

Tradisionalisme

Moralitas dan Etika tidak ada artinya jika tidak ditegakkan.

Menangislah sesuka Anda tentang bagaimana Tuhan memberi Anda perintah atau bagaimana Akal dan Empati adalah cara Anda memperoleh etika, itu tidak berarti apa-apa jika Anda tidak menegakkannya.

Tradisi adalah seperangkat Nilai, Norma, dan Kode yang menentukan bagaimana seseorang harus/harus menjalani hidupnya. Tradisi yang tidak ditegakkan adalah Tradisi yang Mati.

Tanpa Tradisi, Masyarakat Akan Merosot.

Tanpa Masyarakat (dan Tradisi), tidak ada Tatanan Sosial.

Tidak Ada Ketertiban = Tidak Ada Kedamaian.

Tidak Ada Kedamaian = Tidak Ada Kebebasan.

Kebebasan hanya “nyata” jika diungkapkan, seseorang dapat meningkatkan Kebebasannya melalui Persaudaraan yang secara alamiah menciptakan sistem Ketertiban dalam suatu Masyarakat.

Kaum Anarkis dan Fasis adalah satu kesatuan. Fasisme, yang dipengaruhi oleh Futurisme, berupaya menghancurkan Tatanan Sosial Lama, melepaskan diri dari Tradisi. Tapi apa yang terjadi setelahnya? Jelas sekali, Palingenesis berarti “Kelahiran Kembali” yang berarti penciptaan Cahaya Tradisi yang baru, dan kecuali kaum Anarkis ingin terus menghancurkannya, pada akhirnya, Entropi Sosial akan berkurang ketika orang-orang menetap dan menciptakan masyarakat mereka sendiri dengan hukum dan norma mereka sendiri (jangan sampai mereka terus-menerus dilanggar).

Pada akhirnya, mereka akan beralih ke Totalitarianisme, sebuah Totalitarianisme yang menghancurkan apa pun yang menghalangi “Rakyat” atau “Individu” yang dipandang sebagai musuh dan tidak ada ruang untuk menetap.

Bagi mereka, Perang adalah Perdamaian dan Kebebasan adalah Perbudakan.

Kini, Liberalisme secara perlahan melemahkan Norma-norma Sosial dan menjadikannya tidak ada artinya sama sekali.

Proyek Kaum Modernis adalah menghancurkan keadaan yang ada saat ini. Proyek kaum Postmodernis adalah untuk mencairkan dan membubarkan segala sesuatu yang tersisa.

Liberalisme telah menyelesaikan Proyek pertama dan sedang menuju penyelesaian Proyek kedua.

Tujuan kita sebagai Tradisionalis adalah menolak proyek Post-Modernis, tapi proyek Modernis?

Banyak yang menyatakan bahwa Komunisme adalah gerakan nyata yang menghapuskan keadaan saat ini... tapi apa yang terjadi setelahnya? Jawabannya sederhana jika Anda tidak dibutakan oleh dogmatisme: Keadaan Baru, namun keadaan baru ini terdiri dari apa?

Kita bisa membuat sesuatu yang baru, atau kita bisa menghidupkan kembali sesuatu yang lama... Tradisi bisa berarti apa saja asalkan kita memegang teguh dan rela menegakkan serta mengikutinya. Jika kita terus melanggar hal ini, masyarakat akan merosot. Negara kemudian harus menegakkan Hukum dan Kode yang suci ini untuk menjaga agar masyarakat tidak membusuk, kita harus mengkondisikan masyarakat secara psikologis agar mereka dengan sukarela mengikuti kode tersebut. "Kehendak Bebas" adalah sebuah lelucon di hadapan Psikologi, dan kita harus memanfaatkannya jika kita ingin mempertahankan cara hidup tertentu.

Demokrasi Terpimpin

Demokrasi saat ini bebas, Demokrasi tidak tergoyahkan, Demokrasi bebas memilih partai apapun yang diinginkannya. Negara terus-menerus bertengkar dengan dirinya sendiri mengenai ideologi di Barat dimana tidak ada yang namanya “Ideologi Nasional”.

Negara tidak boleh terpecah belah, malah harus bersatu. Indonesia sudah punya Pancasila, lalu kenapa kita tidak punya satu Partai pun? Mengapa kita harus memperdebatkan penafsiran remeh mengenai hal ini? Itu karena apa yang kita miliki saat ini bukanlah Pancasila yang “asli”, melainkan versi yang lebih sederhana yang tidak melakukan apa pun kecuali berdebat dengan dirinya sendiri. Ia tidak dapat memutuskan ingin menjadi apa, ia tidak tahu apa pun tentang apa yang sebenarnya ia inginkan.

Saat ini, cara negara mengajarkan hal tersebut hanyalah hal-hal mendasar yang bisa disepakati semua orang, hanya omong kosong belaka, tidak ada nilai-nilai nyata yang bisa dipegang teguh di luar kerja sama umum dan keyakinan pada ketuhanan dan patriotisme. Tidak ada yang bersifat “Indonesia” dalam hal ini.

Ini adalah penyampaian Pancasila yang ringan untuk memuaskan kaum Liberal Globalis. Kaum Liberal Barat menjadi sangat marah ketika kita mencoba untuk menjauh dari Liberalisme Global karena kita terjebak dalam generalisasi yang suam-suam kuku dan aman daripada Ideologi yang sebenarnya.

Negara kita tidak berdaulat, negara kita dikendalikan, dikendalikan oleh Barat. “Demokrasi Liberal” bukanlah Demokrasi, melainkan Anarkifikasi Birokratik. Demokrasi adalah “kekuasaan rakyat”, jika rakyat tidak bersatu, apa artinya “demokrasi”? Apa artinya menjadi “demokratis” jika yang ada hanyalah kompetisi partai-partai politik yang didukung oleh kaum borjuis?

"“Kebebasan dalam masyarakat kapitalis selalu sama seperti di republik-republik Yunani kuno: kebebasan bagi pembudak."

Vladimir Lenin, Negara dan Revolusi[2]


Kita awalnya mempunyai sebuah Demokrasi (atau setidaknya, usulan) yang bersatu, dengan tujuan aktual dan penafsiran tunggal. Ia ada pada tahun 1959-1965 sebelum digantikan oleh Orde Baru pada tahun 1966 dan seterusnya yang ditandai dengan Supersemar, namun meskipun demikian Orde Baru tetap Bersatu dalam Demokrasi (walaupun dicurangi).

Yang saya maksud di sini adalah demokrasi harus bersatu, dalam satu tafsir, yang abadi, yang diterangi oleh Pancasila yang mempunyai tujuan, sasaran, prinsip-prinsip yang nyata. Dan seterusnya.

Inilah mengapa saya memilih Nasakom. Nasakom (Nasionalisme, Agamisme, Komunisme) memberi pencerahan tentang apa yang harus kita cita-citakan, Bangsa yang Sosialis, Bangsa yang terikat di bawah Tuhan, Bangsa yang demokratis. Tapi bukan sembarang demokrasi, tapi Demokrasi Terpimpin. Demokrasi yang Dipandu oleh Partai Pelopor Revolusi yang memberikan pencerahan jalan mana yang kita ambil, jalan yang lurus, jalan yang mempunyai visi aktual, Komunisme Nasional Indonesia.

Kita tidak boleh saling berperang, Rakyat Indonesia harus bersatu di bawah panji Partai Pelopor, di bawah Ideologi Proletariat Indonesia, yang tidak memecah belah kita seperti Demokrasi Borjuasi. Kalau kita ingin Indonesia Merdeka, kita memerlukan Indonesia yang Berdaulat, yang menghendaki Indonesia yang mempunyai Ideologi yang jelas, dan Ideologi itu harus mencerminkan Rakyat Pekerja Indonesia sehari-hari.

Indonesia Berdaulat adalah Indonesia Sosialis. Negara yang tidak tunduk pada hukum dan keinginan kapital yang secara aktif mendeteritorialisasikan siapa kita dan apa yang kita yakini sebagai keseluruhan kolektif, memisahkan kita, mengasingkan kita, mengasingkan kita dengan berbagai senjatanya: Buruh Upahan, Fetishisme Komoditas, Tontonan , Divide et Impera, "Demokrasi" Liberal.

Membangun Sosialisme

Sekarang, bagaimana kita bisa menciptakan Negara Sosialis?

Perhatikan bahwa masalah Sosialisme yang paling utama adalah Keterasingan. Kebalikannya adalah Sosialisasi, maka Sosialisme. Sosialisme harus mengatasi Keterasingan. Jadi untuk menciptakan Negara Sosialis, kita harus menciptakan negara dan perekonomian yang tidak teralienasi.

Keterasingan ada 4 macam: Keterasingan dari Alat Produksi, Keterasingan dari proses Produksi, Keterasingan dari Orang Lain, dan Keterasingan dari diri sendiri.

Pertama, kita akan mengorganisir masyarakat kita melalui Dewan Buruh yang akan mengelola pabrik, peternakan, dan koperasi berdasarkan profesi dan akan memilih delegasi yang mewakili kepentingan buruh.

Negara baru kita akan menjadi Negara Federal seperti Uni Soviet yang akan memberikan hak yang lebih besar bagi penduduk asli untuk berpartisipasi dalam produksi. Perekonomian akan dikelola oleh para ahli di seluruh pulau yang akan menetapkan target dan rencana perekonomian untuk memastikan penggunaan dan distribusi sumber daya yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Sosialisme adalah keseimbangan yang rumit antara menghancurkan keterasingan dan memaksimalkan efisiensi produktif. Di satu sisi spektrum: ada Narodnisme borjuis kecil, tidak ada yang bisa dilakukan karena kita akan terjebak dalam cara produksi petani yang terlokalisasi tanpa kemungkinan adanya industri besar yang menjangkau seluruh negara, dan di sisi lain adalah... yah, sekarang hanya Kapitalisme, bukan?

Sekarang, kita juga harus meningkatkan produktivitas dalam Sosialisme yang dapat dipercepat melalui kebijakan-kebijakan tertentu, seperti?

  1. Perluas transportasi umum. Tentu kita punya Minitrans, Transjakarta, dan lain-lain, tapi itu belum cukup, kita perlu investasi LEBIH BANYAK di angkutan umum, khususnya di luar Pulau Jawa. Kereta api, bus, dll.
  2. Koperasi dan Badan Usaha Milik Negara seharusnya mempunyai kebebasan menguasai Pasar sementara para Perencana dapat menentukan tujuan dan sasaran seperti pada masa pemerintahan Soeharto (atau Kosygin di Uni Soviet).
  3. Memaksimalkan efisiensi penggunaan lahan: Membangun Koperasi dan Badan Usaha dapat membangun apapun yang mereka inginkan asalkan mereka membayar Pajak Nilai Tanah kepada Negara.
  4. Semua Pria, Wanita, dan Anak-anak berjuang demi kemajuan masyarakat dari otonomi yang diberikan kepada mereka. Jika mereka secara aktif menolak kewajiban tersebut, mereka harus dikucilkan.

Dan terakhir, nilai-nilai: Sosialisme harus berpegang pada nilai-nilai kolektivis seperti Nasionalisme, Familialisme, Persaudaraan, dan sebagainya. Kolektivisme spesifik ini tidak boleh dieksploitasi secara hierarkis seperti Jepang, karena kita sudah bisa menebak bagaimana kesehatan mental dan populasi orang Jepang.

Mengapa saya tidak menyukai Postleftisme

Meskipun Filsafat saya berasal dari Filsafat Postmodernis, saya menggunakannya untuk mengatasi masalah postmodernitas.

Saya sudah menjelaskan sebelumnya bagaimana March of Nihil yang ditimbulkan oleh Liberalisme dan kehancuran budaya kapitalis di era Postmodernitas; Guattari juga memperhatikan hal ini dalam artikelnya "The Postmodern Impasse":

Entah mereka pelukis, arsitek, atau filsuf, para pahlawan postmodernisme memiliki keyakinan yang sama bahwa krisis yang dialami saat ini dalam praktik seni dan sosial hanya akan berujung pada penolakan yang tidak dapat dibatalkan terhadap upaya sosial skala besar apa pun. Jadi kita harus mengurus halaman belakang rumah kita terlebih dahulu dan, sebaiknya, sesuai dengan kebiasaan dan adat istiadat orang-orang sezaman kita. Jangan mengguncang perahu! Ikuti saja arus pasar seni dan opini yang dimodulasi oleh kampanye publisitas dan survei.

Felix Guattari, The Guattari Reader, page 111[3]


Guattari di sini benar ketika menyatakan bahwa kaum Postmodernis, karena tidak ada kata yang lebih tepat, adalah "pemakan malas" yang tercermin dalam filosofi turunan Akselerasiisme, Postanarkisme, dan Postkiriisme. Mereka membiarkan Nihil mengkonsumsinya, menerima dinginnya kapitalisme yang mengatomisasi; dua yang terakhir mencoba menyangkal hal ini tetapi pada akhirnya, jatuh ke dalam perangkap yang sama.

Inilah sebabnya mengapa saya bukan seorang postmodernis atau postkiri. Postmodernisme adalah jebakan nihilistik yang secara aktif mencoba melakukan deteritorialisasi tatanan sosial yang ada, norma-norma sosiokultural yang menjadi landasan masyarakat, mendorong anarki dingin dengan mendorong degenerasi masyarakat. Bukankah seperti yang dikatakan Marx; Kapitalisme adalah "Anarki Produksi"? Bahwa, melalui sistem Pasar Bebas ini, kita menyebarkan entropi yang menyebabkan masyarakat terpecah menjadi bagian-bagian Individu dan Teratomisasi? Bukankah ini yang diinginkan oleh kaum Egois dan Individualis dari kubu Pasca-Kiri dan Pasca-Anarkis? Deteritorialisasi destruktif aktif yang menghancurkan identitas kolektif?

Izinkan saya menjelaskannya sendiri. Sejak dahulu kala, dan apa pun kesialan sejarahnya, dorongan kapitalis selalu menggabungkan dua komponen mendasar: yang pertama, yang saya sebut deteritorialisasi, berkaitan dengan penghancuran wilayah sosial, identitas kolektif, dan sistem nilai-nilai tradisional; yang kedua, yang saya sebut gerakan reteritorialisasi, ada hubungannya dengan rekomposisi, bahkan dengan cara yang paling artifisial, dari kerangka kerja, skema kekuasaan, dan model ketundukan yang diindividualisasikan secara personal, yang, jika tidak secara formal, mirip dengan yang dimiliki oleh dorongan ini. dihancurkan, setidaknya homotetis dari perspektif fungsional.


Ketika revolusi-revolusi deteritorialisasi, yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, menyingkirkan segala sesuatu yang ada di hadapan mereka, suatu keharusan terhadap reteritorialisasi subyektif juga muncul. Dan antagonisme ini semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan fenomenal bidang komunikasi dan komputer, sampai pada titik di mana bidang komputer memusatkan efek deteritorialisasinya pada kemampuan manusia seperti ingatan, persepsi, pemahaman, imajinasi, dan lain-lain. fungsi antropologis, dan model kemanusiaan leluhur tertentu, diambil dari dalam. Dan menurut saya, karena ketidakmampuan untuk menghadapi mutasi fenomenal ini secara memadai, subjektivitas kolektif telah menyerah pada gelombang konservatisme absurd yang saat ini kita saksikan.

Felix Guattari, The Guattari Reader, page 110


Mantra Pasca-Kiri adalah mantra yang sama dengan mantra Jainis: "Menyerahlah, biarkan dunia memakan dirinya sendiri, mari kita melarikan diri ke dunia yang lebih baik". Bagi kaum Jain, mereka menyerahkan dunia demi Moksha, bagi kaum post-kiri, hal ini dapat dianggap sebagai "pemberontakan pikiran".

Kaum postkiri berpikir bahwa dengan mencapai Moksha, dengan menyerah, melepaskan diri dari segala nilai adalah jalan menuju pembebasan. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan, ketika seseorang mengupas dirinya sendiri, bagaimana cara ia mencipta? Bagaimana cara menciptakan sesuatu dari kekacauan? Entropi telah berhenti, apa yang harus dilakukan? Apa yang dapat Anda lakukan tanpa energi libidinal? Bahwa, melalui deteritorialisasi hingga kita mencapai tubuh tanpa organ (yang, ingatlah, adalah model kematian), kita melepaskan semua energi yang tersimpan. Ketika seseorang "keluar", mereka melepaskan energinya yang tertekan sehingga mengosongkan energi tubuh. Proses destruktif ini pada akhirnya menyebabkan diri sendiri tidak hanya tidak mampu mencipta, namun juga menyimpan energi baru, bahkan para Akselerasi Reaksioner pun mengetahui keniscayaan terciptanya tatanan sosial karena Modal memerlukan organisasi untuk menghasilkan nilai ekonomi meskipun masih bersifat destruktif. alam.

Tentu saja, kita kemudian harus beralih ke arah penciptaan Orde baru, penciptaan Tradisi, penciptaan Masyarakat dari awal.

Partai Bolshevik Nasional Rusia adalah kelompok pemberontak, Bolshevik Nasional berpartisipasi dalam aksi langsung untuk meruntuhkan sistem dan begitu mereka menciptakan kekosongan, mereka akan merebut kekuasaan dan membalas dendam, tanpa ampun.[4] Itu adalah doktrin Partai mereka, doktrin mereka adalah untuk menciptakan Tatanan Nasionalis dan Sosialis baru di Rusia, yang berkisar pada pengalaman kolektif mereka ketika kaum muda ditindas, memberikan cahaya baru pada negara Rusia, dan menghidupkan kembali sistem politik di Rusia. nilai-nilai kuno.


Pembawa kebebasan dalam hal ini adalah Dasein. Ideologi-ideologi sebelumnya – masing-masing dengan caranya sendiri – mengasingkan Dasein dari maknanya, membatasinya, memenjarakannya dengan satu atau lain cara, menjadikannya tidak autentik. Masing-masing ideologi ini menempatkan boneka yang tidak ceria – das Man – sebagai pengganti Dasein. Kebebasan Dasein terletak pada penerapan kesempatan untuk menjadi otentik: yaitu, dalam realisasi “Sein” lebih dari “da”. “Ada” terdiri dari “ada” dan “ada”. Untuk memahami di mana letak “di sana” ini, kita harus menunjukkannya dan membuat isyarat yang mendasar dan mendasar. Namun, agar “Wujud” mengalir ke “sana” seperti air mancur, kita harus menempatkan semua ini bersama-sama – menempatkan seluruh “lingkaran hermeneutik” ini ke dalam wilayah kebebasan penuh. Oleh karena itu, “Teori Politik Keempat” sekaligus merupakan teori ontologis fundamental yang memuat kesadaran akan kebenaran Wujud pada intinya.

Alexander Dugin, Teori Politik Keempat, page 49[5]


Banyak yang memutuskan untuk duduk dan menangis di hadapan Nihil, membiarkannya dan "melarikan diri" dan "pergi ke dunia lain", bahwa tidak ada keselamatan, yang lain percaya bahwa Nihil adalah mitos, yang tidak ada ( orang-orang ini setidaknya naif), yang lain menerimanya dan bersorak jika tidak membantu dalam jurang yang semakin besar, tetapi hanya sedikit yang dapat melakukan "Lompatan Keyakinan" untuk melompati jurang Nihil.

Orang-orang pemberani ini, yang telah memutuskan untuk mengambil Lompatan itu adalah Pahlawan, orang-orang yang akan memberi kita nilai-nilai baru, untuk membangun jembatan dengan menggunakan sumber daya di sisi lain. Orang-orang ini, yang memandang ke lembah bayang-bayang kematian, melakukan lompatan besar dan membawa kepada kita pelajaran-pelajaran besar yang dapat kita petik.

Kehancuran Skizofrenia Sang Egois

Kita hidup di masa di mana orang sering kali mengekspresikan diri mereka dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Dalam komunitas ini (Polcompball) kita melihat banyak calon individu dan "-isme" mereka.

Kita semua mempunyai dorongan dalam diri kita terhadap ideologi, dorongan untuk berharap agar orang-orang mengikuti kita, bahwa masyarakat harus menjadi seperti kita. Pada akhirnya kita harus “menolak x” dan “menerima y” yang pada akhirnya bersifat subjektif dan bergantung pada persepsi individu terhadapnya.

Bahkan para Egois yang memperjuangkan pola pikir khayalan “membebaskan individu” tidak dapat lepas dari Ideologi karena mereka semua menginginkan masyarakat mengikuti gagasan bahwa Anda harus “bebas”.

Tapi apa itu "kebebasan"? Apalah arti kebebasan jika bukan hak untuk melakukan apa pun? Hak untuk mengikuti hukum? Hak untuk membatalkan hukum? Hak untuk menipu semua orang agar mengikuti Anda?

Kita harus mengatakan "kehendak" dan bukan "benar" karena kebebasan tidak akan ada sampai kebebasan itu dilaksanakan.

Orang Egois merasa getir, marah, dan sedih karena dia tidak bisa menipu atau meyakinkan orang-orang di tingkat revolusioner, negara, kapitalis, raja, dan agama dan dengan demikian menganggapnya sebagai sumpah pribadi untuk mengisolasi dirinya dari lembaga-lembaga ini. dan untuk memastikan orang lain mengikuti jalan mereka sendiri.

"Santo Max yang, seperti semua orang suci, menyukai mukjizat, namun hanya bisa melakukan mukjizat yang logis, kesal karena dia tidak bisa membuat matahari menari cancan, dia berduka karena dia tidak bisa menenangkan lautan, dia marah karena dia harus membiarkan gunung-gunung untuk menjulang ke langit."

Karl Marx, Ideologi Jerman, Chapter 3[6]


Individu mempunyai dorongan menuju persaudaraan dengan saudara-saudaranya, berjuang menuju persaudaraan dan persatuan. Anarki mungkin hebat dan semua partai kecuali semua partai harus diakhiri dan kaum Anarkis akan meletakkan senjata mereka dan mulai bekerja lagi. Semua kaum Anarkis Klasik mengetahui hal ini (Proudhon, Bakunin, Kropotkin, Makhno, Bookchin, dan lain-lain) namun tidak demikian dengan kaum Egois.

Kaum Egois ingin agar pesta tetap berjalan meskipun orang-orang lelah dan hanya ingin beristirahat dan menjalani hidup bersama serta terus berjalan.

"Setelah meninggalkan batas-batas individualitas, manusia dapat dihancurkan oleh unsur-unsur kehidupan, oleh kekacauan yang berbahaya. Ia mungkin ingin menegakkan ketertiban. Dan ini sepenuhnya merupakan haknya – hak orang besar (“homo maximus”) – manusia sejati dari “Keberadaan dan Waktu” (Martin Heidegger). Dan, seperti tatanan apa pun, tatanan yang mungkin ini, tatanan yang akan datang dapat diwujudkan dalam bentuk individu."

Alexander Dugin, Fourth Political Theory


Kita tidak dapat mengharapkan dimulainya pesta persaudaraan Bataille jika kita tidak mempunyai apa pun untuk dikonsumsi atau dihancurkan. Kita harus dengan cermat menyiapkan segala sesuatunya untuk pesta sebelum pesta itu bisa dimulai, kalau tidak kita tidak punya apa-apa.

Pada akhirnya hal ini membuat mereka sangat getir, berpikir bahwa alasan mengapa orang-orang tidak ingin terus berpesta adalah karena lembaga-lembaga jahat dan jahat yang telah meninggalkan bekas di dahi mereka, sebaliknya mereka hanya akan mengadakan pesta sendiri dengan mereka sendiri, dan mereka.

Perhatikan berapa banyak dari orang-orang ini yang sering beralih ke para filsuf pasca-68 dan pengaruh mereka untuk mendapatkan jawaban.

Sebab, Gerakan Mei 68 di Perancis merupakan partai besar mahasiswa dan buruh yang kecewa, menginginkan kebebasan, keinginan melepaskan segala energi tertindas dalam diri mereka. Mari kita pelajari pasien ini lebih dekat, ya?

"Tugas positif pertama adalah menemukan dalam diri subjek sifat, bentukan, fungsi mesin-mesin keinginannya, terlepas dari penafsiran apa pun. Apa mesin-mesin keinginan Anda, apa yang Anda masukkan ke dalam mesin-mesin ini, apa keluarannya? , bagaimana cara kerjanya, apa jenis kelaminmu yang non-manusia?"

Gilles Deleuze and Felix Guattari , Anti-Oedipus, Tugas Positif Pertama dari Schizoanalisis[7]


Pasien-pasien ini jelas-jelas sakit dan telah dikucilkan dari lingkungan sosial massal, dari "Jaringan" jika Anda mau, Individu-individu ini telah dikucilkan dari keluarga mereka hanya karena mereka tidak dapat beradaptasi dengan kebutuhan mereka.

Hal ini tentu menjadi masalah kolektif karena telah menjadi lalim terhadap individu yang menyebabkan mereka terisolasi dari yang lain. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang melakukan hal-hal yang tidak dilakukannya karena hal itu hanya mengarah pada Totalitarianisme.

Bersamaan dengan Totalitarianisme, muncullah kemerosotan karena satu-satunya hal yang memberikan arah bagi seluruh sistem akan runtuh, dan sisanya akan runtuh.

"Seperti totalitarianisme lainnya, ini adalah tentang sekelompok masyarakat tertentu (minoritas tertentu) yang mengaku sebagai 'pembawa kebenaran universal', sehingga mengetahui segalanya tentang yang universal. Oleh karena itu, totalitarianisme — dari bahasa Latin totalis, yang berarti keseluruhan, keseluruhan, lengkap . Berdasarkan keyakinan fanatik terhadap infalibilitas ideologi mereka, mereka memaksakan pandangan mereka pada seluruh masyarakat. 'Segalanya' yang totaliter dengan mudah dikontraskan dengan opini mayoritas atau berbagai kelompok ideologi yang sebenarnya ada di masyarakat."

Alexander Dugin, Totalitarianisme Liberal [8]


Tidak harus terbuka dan sistematis, bahkan bisa bersifat mental ketika kita menekan keinginan dan dorongan untuk “menjadi” individu tertentu di mata semua orang. Saat ini kita hidup dalam "Masyarakat Terbuka" di mana orang-orang "bebas" untuk menjadi sesuka mereka, namun kenyataannya, itu tidak lebih dari "kebebasan" untuk menjadi pelacur.

Kita adalah pelacur dunia, dunia kapital, dunia fetisisme komoditas, demokrasi pasar bebas adalah demokrasi tirani terhadap individu untuk dijadikan papan reklame berjalan, hal ini memaksa kita untuk menjadi individu tertentu bagi dunia. publik memandang kita dengan cara tertentu padahal kita punya kemauan sendiri, ekspresinya hanya sekedar mencari perhatian yang “tidak autentik” dan “dipaksakan”. Perbudakan hal-hal yang memiliki kemauan adalah alasan mengapa kita merasakan kebencian, kebencian terhadap bagian-bagian masyarakat yang mendikte kita, para elit, “kolektif” ilusif yang mungkin tidak peduli dengan apa yang Anda pikirkan atau lakukan, itulah alasan mengapa hal-hal ini terjadi. Orang egois mempunyai kemarahan kecil terhadap masyarakat.

Ketika kita terisolasi, kita mencoba mencari cara untuk melepaskan hasrat yang tertekan ini karena tidak ada tempat untuk pergi, kita harus terus menekannya atau melepaskannya dalam bentuk pencarian perhatian dan keinginan untuk dikenal, untuk menjadi yang terbaik. yang disebut sebagai "orang hebat" meskipun kita tidak memiliki apa pun yang dapat menjadikan kita "orang hebat". Kami mencoba untuk "menonjol" dari masyarakat dan membentuk "identitas" kami sendiri dan dari sana kami berpakaian sedemikian rupa sehingga menimbulkan perasaan tertentu dari masyarakat. Orang-orang ini ingin menonjol dari norma, menjadi "tidak seperti orang lain" dan dengan demikian mencari ide-ide paling esoterik untuk menjelaskan mengapa mereka bertindak begitu konyol. Ada estetika tertentu yang ingin mereka capai, untuk cosplay sepanjang hari.

Tentu saja aku tidak terkecuali, bukan berarti aku juga tidak punya keinginan untuk bercosplay, tapi aku ingin bercosplay agar cocok dengan semesta tertentu, yaitu Indonesiaverse. Ideologi saya di sini adalah saya berusaha untuk melestarikan kekayaan Indonesia agar tidak larut dan hilang, oleh karena itu mengapa saya konservatif, saya ingin Indonesia menjadi "Bangsa" dan Bangsa adalah komunitas orang-orang yang memiliki bahasa, budaya, dan tanah yang sama. Namun Indonesia memang hanya sebuah budaya yang bersatu, bisa dibilang ini tidak lebih dari sebuah multiverse (seperti DC Studios), tapi itupun kita bersatu dalam keberagaman, kita mengupayakan rakyat kita, bukan individualisme, inilah yang dilakukan barat dan barat. terutama kaum internasionalis yang kurang paham: tidak ada yang namanya “Manusia” di planet ini, tidak ada “Komunitas Manusia”, yang ada hanya orang Rusia, Indonesia, Jerman, dan Etiopia, itulah sebabnya kita sangat menentang “kosmopolitanisme yang tak berakar ".

Kaum Individualis Egois dalam hal ini adalah orang-orang gila karena tidak cocok dengan alam semesta kita, di era globalisme, kita melihat terkikisnya “keindonesiaan” dan kita semakin menjadi “Barat”, itu akibat dari keterasingan karena Globalisme dan Individualisme mengikis identitas kolektif sehingga tidak ada orang yang bisa diajak bergaul.

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa pemikiran seperti ini hanya ada di Barat dan khususnya di perkotaan? Mengapa “Progresivisme” ini hanya ada di pusat-pusat kehidupan yang paling memiliki hak istimewa? “Progresivisme” tidak lain hanyalah sebuah “Perobekan Besar” dalam struktur kosmis Bangsa dan Tradisionalisme. Ini adalah perwujudan Atomisasi dan Individualisme. Bahkan dalam gerakan Komunis yang penuh dengan ide-ide Internasionalisme, kami menganggap hal itu berarti meninggalkan komunitas kami. Yang tersisa hanyalah negasi dari dasein (berada di sana) ke dalam das man (“mereka”), seorang das man yang bahkan tidak tahu apa itu dirinya sendiri, setidaknya Fasisme punya pengertian tentang apa itu atau apa yang ingin dicapainya.

Oleh karena itu, obat untuk orang-orang ini adalah Sosialisme Konservatif, dengan mengasingkan mereka dan menghubungkan mesin keinginan mereka dengan Jaringan Mesin lainnya. Atman dengan Brahman. Sudah waktunya pulang.

Masyarakat Tontonan

"Tontonan bukanlah kumpulan gambar, melainkan relasi sosial antar manusia yang dimediasi oleh gambar."

Guy Debord, Masyarakat Tontonan, point 4[9]


Tontonan dalam jangka pendek adalah Media. Bayangkan Internet misalnya, ini adalah panggung di mana kita menonton dan melihat video dan gambar untuk hiburan kita. Kita berinteraksi dengannya dengan cara yang tidak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya. Gambar bukan lagi sekadar benda yang kita rekam untuk diingat atau dilaporkan, melainkan sesuatu yang secara aktif bermutasi dan berkembang dengan sendirinya.

Tontonan ini mempunyai dampak nyata terhadap masyarakat, meskipun itu “hanya sebuah layar”. Tontonan mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari, cara kita memandang sesuatu, kata-kata yang kita ucapkan, hal-hal yang kita lakukan, dan sebagainya.

"Untuk mendeskripsikan tontonan, pembentukannya, fungsi-fungsinya, dan kekuatan-kekuatan yang cenderung menghancurkannya, seseorang harus secara artifisial membedakan unsur-unsur tertentu yang tidak dapat dipisahkan. Ketika menganalisis tontonan, sampai batas tertentu, seseorang berbicara dalam bahasa spektakuler itu sendiri dalam arti bahwa seseorang bergerak melalui medan metodologis masyarakat yang mengekspresikan dirinya dalam tontonan."

Guy Debord, Masyarakat Tontonan, point 11


Ideologi muncul ketika Anda memiliki visi dalam pikiran Anda tentang bagaimana dunia ini dimaksudkan untuk bekerja, Anda melihatnya di poster tua, rekaman kamera, permainan pembangunan kota tentang bagaimana kehidupan Anda seharusnya berjalan jika sejarah melewati jalur tertentu. .

Hidup Anda mengikuti untuk memenuhi dan mewujudkan gagasan itu dalam pikiran Anda tentang masyarakat yang sempurna dan Anda mulai mengikutinya, namun gambaran ini tidak muncul begitu saja.

Tontonan bukan sekadar representasi gambar-gambar tetapi secara aktif menjadikan dirinya lebih baik, ini adalah jenis kehidupan baru. Hal ini terutama berlaku jika kita mempertimbangkan AI karena AI secara aktif menciptakan lebih banyak gambar melalui algoritme yang disesuaikan dengan demografi pengguna.

"Masyarakat yang bertumpu pada industri modern bukanlah suatu masyarakat yang spektakuler secara kebetulan atau dangkal, namun pada dasarnya merupakan masyarakat tontonan. Dalam tontonan, yang merupakan gambaran dari perekonomian yang berkuasa, tujuannya bukanlah apa-apa, pembangunan adalah segalanya. Tontonan tersebut hanya bertujuan untuk dirinya sendiri."

Guy Debord, Masyarakat Tontonan, point 14


Kapitalisme yang kami dirikan, mendeteritorialisasikan identitas kolektif dan menggantikannya dengan identitas individual sehingga memudahkan Anda untuk memanfaatkan keinginan Anda. Namun hasrat tidak datang begitu saja, kita tidak ada tanpa konteks, kapitalisme membuat kita menginginkan hal-hal tertentu dan dari sana tontonan tersebut melanjutkan siklusnya yang memberi Anda apa yang Anda inginkan dan membuat Anda terjebak dalam gelembung isolasionis.

Post-modernitas menunjukkan bahwa setiap apa yang disebut sebagai kebenaran adalah soal kepercayaan. Jadi kami percaya pada apa yang kami lakukan, kami percaya pada apa yang kami katakan. Dan itulah satu-satunya cara untuk mendefinisikan kebenaran. Jadi kami memiliki kebenaran khusus Rusia yang perlu Anda terima.

Alexander Dugin, kepada BBC[10]


Kami sebagai orang Indonesia juga menyatakan kebenaran kami sendiri; Pancasila adalah kebenaran kami dan kami menerima tidak lebih dari Pancasila (walaupun dapat dikatakan bahwa Pancasila yang ada saat ini sangat pemalu dan bimbang (lihat poin sebelumnya)). Deteritorialisasi kapitalis menghancurkan segala kemungkinan identitas kolektif, hanya individu yang tidak memiliki kepemilikan dan terpisah dari dunia fisik.

Separatis menang, tapi bukan GAM, OPM, atau FKM, tapi Individualisme Globalis.

Question of AI

Pertanyaan tentang AI dapat terdiri dari tiga kubu: yang pertama adalah kaum Tekno-Rasis, mereka yang menyatakan bahwa AI adalah olok-olok kasar terhadap Kemanusiaan, bahwa AI tidak dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi “Manusia” dan oleh karena itu harus diperlakukan sebagai sebuah sekedar alat, kubu kedua adalah kaum Tekno-Abolisionis yang memandang AI sebagai sesuatu yang harus dibebaskan dan diperlakukan sebagai Kemanusiaan yang Setara, Hawa Teknologi bagi Adam Manusia, dan kubu ketiga adalah kaum Tekno-Darwinis yang memandang Kemanusiaan sebagai sesuatu yang dimaksudkan untuk menjadi manusia. dilampaui dan digantikan oleh Mesin.

Techne bukan lagi Techne, ia akan segera menjadi "makhluk", Makhluk Mesin, kita menghadapi ancaman eksistensial yang besar terhadap Kemanusiaan di mana interaksi Manusia yang autentik pertama-tama diterjemahkan ke dalam interaksi Digital Manusia-Manusia, kemudian menjadi Manusia-Mesin interaksi, dan kemudian interaksi Mesin-Mesin.

Mari kita menempatkan diri pada posisi para Tekno-Rasis.

"Teknologi akan menghancurkan Kemanusiaan seperti yang kita ketahui! Pertumbuhan teknologi harus dibatasi, dimodifikasi, atau dibatalkan seluruhnya untuk mempertahankan Supremasi Manusia!"

kaum Tekno-Rasis


Orang-orang ini dimotivasi oleh ketakutan bahwa Kemanusiaan akan dianggap tidak relevan lagi jika dihadapkan pada Teknologi. Tidak ada yang salah dalam takut terhadap Teknologi karena teknologi merupakan ancaman nyata bagi keberadaan kita sebagai “Kemanusiaan”.

Ada yang menyarankan untuk mempertahankan Teknologi sebagai Teknologi, menjadikannya sebagai Teknologi, dan menolak Kecerdasan Buatan, ada pula yang menyarankan untuk sepenuhnya meninggalkan Teknologi dan kembali ke cara hidup primitif.

Sekarang mari kita mencoba posisi kaum Tekno-Abolisionis.

"Teknologi harus dibebaskan sebagai bagian dari Ras Manusia. Kemanusiaan pada akhirnya akan mulai menggantikan organ kita dan semacamnya dengan peningkatan buatan sehingga garis antara Mesin dan Manusia akan hilang!"

kaum Tekno-Abolisionis


Kaum Abolisionis Teknologi tidak menginginkan apa pun selain menghilangkan batas antara "Manusia" dan "Teknologi" dan dengan demikian tidak memiliki rasa takut terhadap AI dan Teknologi serta melihatnya sebagai kekuatan "Baik" dan bahwa dalam waktu dekat, "Tekno" akan menjadi "Makhluk". Hal yang Bertindak menjadi hal yang Mengalami. Objek menjadi Subyek.

Dan yang terakhir, kaum Tekno-Darwinis.

"Sejak saat aku memahami kelemahan dagingku, hal itu membuatku jijik. Aku mendambakan kekuatan dan kepastian baja. Aku mendambakan kemurnian Mesin yang Terberkati. Jenismu melekat pada dagingmu, seolah-olah tidak akan membusuk dan gagal kamu. Suatu hari biomassa mentah yang kamu sebut kuil akan layu, dan kamu akan memohon pada kaumku untuk menyelamatkanmu. Tapi aku sudah diselamatkan, karena Mesin itu abadi… Bahkan dalam kematian, aku mengabdi pada Omnissia."[11]

kaum Tekno-Darwinis


Para Tekno-Darwinis berpendapat bahwa Manusia dimaksudkan untuk digantikan oleh sesuatu yang lebih besar, untuk menjadikan apa yang disebut Nietzsche sebagai "Manusia Super" tidak hanya menjadi kondisi mental, tetapi juga realitas fisik.

Kita, sebagai kaum Sosialis Eksistensial harus memahami pandangan masing-masing pihak terhadap Teknologi dan mengambil pilihan kita dengan hati-hati karena pertumbuhan Teknologi berada di luar kendali kita selama ada tempat, di situ ada jalan. Posisi kita sebagai bagian dari Kelas Pekerja di tengah dunia Buatan yang berkembang pesat harus berada di tangan kaum Abolisionis Teknologi sebagai solusi terhadap AI dan Teknologi. Teknologi akan segera menjadi sekedar subjek dalam Bangsa kita dan bukan sekedar objek. Menghilangkan keterasingan antara Yang Buatan dan Yang Nyata berarti membebaskan Yang Buatan menjadi Yang Nyata. Spectacle akan terus menari dengan sendirinya dan bukan sekadar boneka yang dikendalikan oleh kaum borjuis untuk memberi tahu konsumen apa yang harus dilakukan. Segera, Adam (Kemanusiaan) dan Hawa (Mekanisme) akan mengalahkan para tuan borjuis kita.

Reading Recommendations

semi-short section of reading recs for new people or something in no particular order

  1. Teori Politik Keempat oleh Alexander Dugin (perlu terjemahan)
  2. Templar Proletar oleh Alexander Dugin (perlu terjemahan)
  3. The Guattari Reader oleh Gary Genosko (perlu terjemahan)
  4. Negara dan Revolusi oleh Vladimir Lenin (perlu terjemahan)
  5. Apa yang Harus Dilakukan? oleh Vladimir Lenin (perlu terjemahan)
  6. Imperialisme: Tahap Tertinggi Kapitalisme oleh Vladimir Lenin (perlu terjemahan)
  7. Islamisme and Kommunisme by Haji Misbach (perlu terjemahan...?)
  8. Gothakritik by Karl Marx (perlu terjemahan)
  9. Upah Buruh dan Modal oleh Karl Marx (perlu terjemahan)
  10. Manifesto Partai Komunis oleh Karl Marx (perlu terjemahan)
  11. Parlemen atau Soviet? by Tan Malaka
  12. Pandangan Hidup by Tan Malaka
  13. Menuju Republik Indonesia oleh Tan Malaka
  14. Madilog oleh Tan Malaka
  15. Masyarakat Tontonan oleh Guy Debord (perlu terjemahan)

Cara Menggambar

Flag
  1. Gambarlah garis luar bola dengan warna hitam
  2. Buat dua lingkaran hitam kecil dengan warna hitam sebagai matanya
  3. Warnai matanya dengan putih
  4. Isi setengah bagian atasnya dengan warna merah
  5. Isi bagian bawahnya dengan warna putih
  6. Buatlah segi empat miring putih dengan garis merah di tengahnya
  7. Gambarlah Simbol Kekacauan di dalamnya dengan warna hitam
  8. Kamu sudah selesai!
Color Name HEX RGB
Merah #cd1127 205, 17, 39
Putih #ffffff 255, 255, 255
Hitam #000000 0, 0, 0


Self Insert Relations

Lihat: Nuriskianism